Jumat, 11 September 2020

Takut Kehilangan dan Kebodohan yang Paling Bodoh

 Hari ini tangal 10 September 2020, gue mempelajari satu hal lagi. Bukan tentang pekerjaan atau yang berhubungan dengan teknis pekerjaan. Tapi tentang rasa takut kehilangan.

Jadi di kantor gue ada website khusus untuk pekerjanya. Di website itu bisa absen, cek absessi, dan lain sebagainya. Sejak pagi tadi gue coba login ke website itu tapi selalu gagal. Dibilang persnonal number (nomor karyawan, gitu) sama password gue salah. Tapi gue yakin banget sudah benar. Karena password gue nggak akan jauh berbeda dari yang sudah ada. Berkali-kali gue coba, sampai personal number gue terkunci sama sistem.

Pas siang gue coba lagi, masih nggak bisa masuk juga. Untungnya absen bisa dari aplikasi di hp.

Sore gue coba lagi, masih juga dibilang gue salah masukin personal number dan password.

Akhirnya gue coba tanya ke rekan kerja yang duduknya di depan gue.

“Mas, sorry bisa ganggu bentar?” karena gue sama dia berda grup kerja dan nggak enak mengganggu dia yang sejak tadi terlihat sedang fokus bekerja. Itu juga yang jadi alasan mengapa tidak sejak pagi gue tanya ke dia.

“Iya, kenapa?”

“Mas bisa login ke web? Kok saya dari pagi gagal terus, ya?”

“Pagi saya coba memang nggak bisa, Mba. Tapi tadi saya coba lagi bisa, kok.”

“Oh, bisa, ya. Punya saya masih nggak bisa. Ok deh, makasih.”

Kurang lebih percakapan kami begitu.

Aku semakin panik, kenapa dia sudah bisa sedangkan gue masih saja gagal?

Akhirnya coba tanya ke pihak outsource gue. Gue WA tapi nggak dapat balasan.

Gue cukup panik. Bahkan gue sampai melihat kontrak kerja gue lagi. Takut-takut ada hal yang ngga gue inginkan terjadi. Apa ada bagian yang terlewat mengenai “pemutusan hubungan kerja”? masa iya tiba-tiba begini. Gue kalut banget dan takut banget. Tapi tetap coba stay cool di meja kerja. Kalian tahu apa yang gue takutkan?

Gue takut kehilangan pekerjaan ini. Gue takut personal number aku tidak terdaftar yang mengartikan aku akan keluar dari kantor ini.

Karena gue pernah ngalamin kejadian seperti itu di kantor sebelumnya. Beberapa minggu sebelum gue keluar, pas di masa-masa one mounth notice (sebulan terakhir bekerja) gue nggak bisa login di aplikasi untuk absensi. Tapi sebelumnya memang aku sudah tahu bahwa aku akan keluar.

Dan yang kali ini kejadiannya sama. Maka dari itu gue takut banget. Gue sayang banget sama pekerjaan ini. Gue nggak mau kehilangan pendapatan lagi. Terlebih di masa pandemic begini. Gue benar-benar takut kehilangan pekerjaan ini.

Sangking rasa takut itu mendominasi, gue sampai lupa bahwa ada fitur “Forget Password” di web itu. Akhirnya gue coba untuk klik itu. Dan diminta untuk mengisikan seperti personal number dan nomor telepon. Setelah mengikuti instruksi. Akhirnya gue dapat password baru. Gue coba langsung login, dan alhadulillah berhasil.

Jujur gue lega banget bisa login. Gue lega banget ternyata personal number gue masih terdaftar dan artinya gue masih bisa lanjut kerja di sini.

Yang gue dapat pelajari adalah semakin kita menyayangi sesuatu atau seseorang, semakin tinggi juga rasa takut kita untuk kehilangan sesuatu atau seseorang itu. Bahkan mungkin sampai “kehilangan akal sehat”. Ya itu, sampai gue nggak sadar ada fitur “Forget Password”.

Kalau disambungin sama masa lalu gue, tentang cinta pertama. Setelah gue dan dia menjauh dand dia pun sudah memiliki kekasih. Gue nggak merasa takut untuk kehilangan dia. Tapi logika gue terus  berkata bahwa gue masih sangat pencintainya.

Kenapa gue bilang “gue tidak takut kehilangannya”? karena yang ada dipikiranku hanyalah berharap dia kembali ke kehidupan gue. Gimana, ya ngejelasinnya? Jadi gue berharap dia kembali ke gue tapi gue juga nggak getol banget dan ngelakuin apa saja untuk membuat dia putus dari pacarnya saat itu. Tapi kondisinya gue saat itu adalah gue nggak masalah dia punya pacar, tapi gue juga berharap dia bisa kembali ke gue. Aneh, sih. Belibet gitu. Tapi mudah-mudahan you get the point.

Dan bodohnya gue baru sadar sekarang. Ternyata dulu gue sudah tidak mencintainya lagi setelah kami benar-benar menjauh dan dia punya kekasih. Logika gue salah yang bilang bahwa gue sangat mencintainya. Gue hanya punya nafsu untuk memilikinya. Ibarat kata, “dapat sukur, nggak dapat ya sudah.”

Terpaling bodohnya: gue membuang waktuku 9 tahun unutuk menutupi logika gue dengan berdalih “ini suara hati”. KAN T*I!

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar