Adakan yang salah dari seorang sarjana S1 jurusan Sistem
Informasi (SI) yang tidak bisa memahami bahasa pemrograman atau yang biasa
disebut coding¬-an? Kalau orang yang tidak tahu mengenai apa yang dipelajari
saat kuliah di jurusan tersebut, mungkin akan menjawab salah. “Seorang sarjana
S1 jurusan SI harusnya bisa membuat program dan membenarkan piranti komputer
atau laptop. Kan mereka belajar mengenai hal-hal itu di kampus.”
Tapi kini yang aku rasakan adalah hal itu. Aku bulan Maret
2020 nanti resmi menjadi sarjanan S1 dari program studi Ilmu Komputer, jurusan
Sistem Informasi. Ternyata menjadi seorang sarjanan tidaklah seenak yang
dibayangkan. Menjadi seseorang yang memiliki title di belakang namanya sama
saja seperti memiliki beban di punggu belakangnya. Ia harus bisa
mengimplementasikan apa saja yang sudah ia pelajari selama kurang lebih 4 tahun
di bangku kuliah. “Pokoknya ia tidak bisa bilang tidak tahu”, menurut sebagian
orang. Karena orang dengan predikat “sarjana” akan dianggap lebih pintar
dibandingkan yang tidak memiliki predikat itu.
Ah dunia gila!
Dari mana kalimat konspirasi seperti itu? Dari mana anggapan
itu bisa dibenarkan?
Memang faktanya adalah kami yang bergelar sarjana merasakan
pendidikan lebih dibandingkan yang lainnya. Tapi apa iya itu menjadi hukum
wajib kalau kami yang bergelar sarjana harus bisa menguasai hal-hal yang
berhubungan dengan jurusan saat kuliah?
Aku mau sedikit cerita pengalaman aku di
kantor baruku.
Kantorku berada di bilangan Jakarta Selatan, tepatnya di
wilayah Mega Kuningan. Wilayah yang dikenal dengan gedung-gedung tingginya.
Tempat ribuan orang mencari nafkah. Maka dari itu wilayah ini tidak pernah
tidak macet di waktu kapanpun. Dan aku cukup senang bisa menjdi salah satunya.
Merasakan bekerja di gedung tinggi dan be-AC. Seperti memiliki “nama” tersendiri.
Hehehe.
Aku mulai bekerja di kantor ini sejak Juni 2019. Detailanya
adalah dari pertengahan Juni sampai akhir Juli aku dan beberapa teman lainnya
melaksanakan bootcamp. Kami dilatih untuk bisa “jago” coding dalam waktu yang
cukup singkat, yaitu 6 minggu. Alhasil pelajaran yang diberikan oleh trainer
yang berbeda di setiap materinya cukup cepat.
Kelompok yang disebut batch 3 itu berisi dari berbagai latar
belakang. Ada yang memang sudah sarjana, ada yang lulusan D3, dan ada juga yang
belum sepenuhnya lulus dari bangku kuliah seperti aku. Jurusan kami pun tidak
semuanya dari jurusan Sistem Informasi atau Teknik Informatika. Ada yang dari
jurusan elektronika dan oceanografi. Kami juga dari berbagai universitas, baik
swasta maupun negeri.
Singkat cerita kami menyelesaikan masa-masa bootcamp yang
cukup ngebut. Banyak materi yang kami terima, dari mulai coding di Bahasa
pemrograman Java sampai kami bisa melakukan tes terhadap suatu web atau program
yang sudah ada.
Setelah masa-masa bootcamp selesai, kami ditempatkan di
perusahaan yang mau “memakai” jasa dari perusahaan yang merekrut kami. Jadi
perusahaan tempatku bekerja ini semacam tempat outsorching. Beberapa temanku
sudah ditempatkan di sebuah perusahaan.
Tibalah giliran aku yang ditempatkan. Tapi sebelum
ditempatkan aku sempat “menganggur” sekitar sebulan. Tetap datang dan absen ke
kantor. Tapi tidak melakukan apa-apa karena memang belum dikasih pekerjaan.
Sampailah pada suatu hari aku dipanggil oleh HR Head
kantorku ini. Saat aku sampai meja beliau, ternyata ada 2 orang lagi yang
sedang menunggu. Mereka adalah seorang project leader dan seorang scrum master.
Baru aku duduk, aku langsung diajukan sebuah pertanyaan, “Kamu bisa pakai
react?”
Aku bingung, kaget gitu. Hahaha.
Aku belum pernah menggunakan react, walaupun sama-sama
Bahasa pemrograman Java, tapi aku belum bisa.
“Saya sih belum pernah pakai, Pak sama sekali.” Jawabku.
“Jadi kita ada project, tapi di Bandung. Dan yang dipakai
itu react.” Kata si Bapak Project Leader.
“Dia bisalah, Pak. Waktu bootcamp dia posisi 8.” Sahut Ibu
HR Head tiba-tiba dan berhasil membuat aku semakin canggung. Entah mengapa, aku
ragu dengan hal ini.
Perbincangan kami tidak lama dan aku langsung kembali ke
mejaku dan kembali tidak melakukan apapun. Hehe.
Siang harinya aku dan 2 orang temanku diminta untuk memesan
tiket untuk ke Bandung dan hari Senin sudah mulai kerja di sana. Ada perasaan
senang, yaitu bisa “bekerja sambil liburan”. Karena akan terbebas dari hiruk
pikuk Jakarta. Tapi ada perasaan tidak tenang lainnya juga. Karena sebelumnya,
aku sudah mendengar desas desus kalau dari batch 3 akan ada yang dikirim ke
Bandung dan aku langsung cerita ke orangtua, mama ku langsung bilang “Semoga
kamu nggak dikirim ke Bandung.”
Can you feel that?
Hahaha.
Tapi apalah daya untuk orang yang sudah terlanjur
menandatangai kontrak yang salah satu isinya adalah “…bersedia ditempatkan
dimana saja….”
Ya aku harus memenuhinya. Hingga akhirnya aku ke Bandung di
hari Minggu malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar