Jumat, 07 Februari 2020

Curhatan Sarjana "Gagal"


Adakan yang salah dari seorang sarjana S1 jurusan Sistem Informasi (SI) yang tidak bisa memahami bahasa pemrograman atau yang biasa disebut coding¬-an? Kalau orang yang tidak tahu mengenai apa yang dipelajari saat kuliah di jurusan tersebut, mungkin akan menjawab salah. “Seorang sarjana S1 jurusan SI harusnya bisa membuat program dan membenarkan piranti komputer atau laptop. Kan mereka belajar mengenai hal-hal itu di kampus.”

Tapi kini yang aku rasakan adalah hal itu. Aku bulan Maret 2020 nanti resmi menjadi sarjanan S1 dari program studi Ilmu Komputer, jurusan Sistem Informasi. Ternyata menjadi seorang sarjanan tidaklah seenak yang dibayangkan. Menjadi seseorang yang memiliki title di belakang namanya sama saja seperti memiliki beban di punggu belakangnya. Ia harus bisa mengimplementasikan apa saja yang sudah ia pelajari selama kurang lebih 4 tahun di bangku kuliah. “Pokoknya ia tidak bisa bilang tidak tahu”, menurut sebagian orang. Karena orang dengan predikat “sarjana” akan dianggap lebih pintar dibandingkan yang tidak memiliki predikat itu.

Ah dunia gila!

Dari mana kalimat konspirasi seperti itu? Dari mana anggapan itu bisa dibenarkan?

Memang faktanya adalah kami yang bergelar sarjana merasakan pendidikan lebih dibandingkan yang lainnya. Tapi apa iya itu menjadi hukum wajib kalau kami yang bergelar sarjana harus bisa menguasai hal-hal yang berhubungan dengan jurusan saat kuliah?

Aku mau sedikit cerita pengalaman aku di kantor baruku.

Kantorku berada di bilangan Jakarta Selatan, tepatnya di wilayah Mega Kuningan. Wilayah yang dikenal dengan gedung-gedung tingginya. Tempat ribuan orang mencari nafkah. Maka dari itu wilayah ini tidak pernah tidak macet di waktu kapanpun. Dan aku cukup senang bisa menjdi salah satunya. Merasakan bekerja di gedung tinggi dan be-AC. Seperti memiliki “nama” tersendiri. Hehehe.

Aku mulai bekerja di kantor ini sejak Juni 2019. Detailanya adalah dari pertengahan Juni sampai akhir Juli aku dan beberapa teman lainnya melaksanakan bootcamp. Kami dilatih untuk bisa “jago” coding dalam waktu yang cukup singkat, yaitu 6 minggu. Alhasil pelajaran yang diberikan oleh trainer yang berbeda di setiap materinya cukup cepat.

Kelompok yang disebut batch 3 itu berisi dari berbagai latar belakang. Ada yang memang sudah sarjana, ada yang lulusan D3, dan ada juga yang belum sepenuhnya lulus dari bangku kuliah seperti aku. Jurusan kami pun tidak semuanya dari jurusan Sistem Informasi atau Teknik Informatika. Ada yang dari jurusan elektronika dan oceanografi. Kami juga dari berbagai universitas, baik swasta maupun negeri.

Singkat cerita kami menyelesaikan masa-masa bootcamp yang cukup ngebut. Banyak materi yang kami terima, dari mulai coding di Bahasa pemrograman Java sampai kami bisa melakukan tes terhadap suatu web atau program yang sudah ada.

Setelah masa-masa bootcamp selesai, kami ditempatkan di perusahaan yang mau “memakai” jasa dari perusahaan yang merekrut kami. Jadi perusahaan tempatku bekerja ini semacam tempat outsorching. Beberapa temanku sudah ditempatkan di sebuah perusahaan.

Tibalah giliran aku yang ditempatkan. Tapi sebelum ditempatkan aku sempat “menganggur” sekitar sebulan. Tetap datang dan absen ke kantor. Tapi tidak melakukan apa-apa karena memang belum dikasih pekerjaan.

Sampailah pada suatu hari aku dipanggil oleh HR Head kantorku ini. Saat aku sampai meja beliau, ternyata ada 2 orang lagi yang sedang menunggu. Mereka adalah seorang project leader dan seorang scrum master. Baru aku duduk, aku langsung diajukan sebuah pertanyaan, “Kamu bisa pakai react?”
Aku bingung, kaget gitu. Hahaha.

Aku belum pernah menggunakan react, walaupun sama-sama Bahasa pemrograman Java, tapi aku belum bisa.

“Saya sih belum pernah pakai, Pak sama sekali.” Jawabku.

“Jadi kita ada project, tapi di Bandung. Dan yang dipakai itu react.” Kata si  Bapak Project Leader.

“Dia bisalah, Pak. Waktu bootcamp dia posisi 8.” Sahut Ibu HR Head tiba-tiba dan berhasil membuat aku semakin canggung. Entah mengapa, aku ragu dengan hal ini.

Perbincangan kami tidak lama dan aku langsung kembali ke mejaku dan kembali tidak melakukan apapun. Hehe.

Siang harinya aku dan 2 orang temanku diminta untuk memesan tiket untuk ke Bandung dan hari Senin sudah mulai kerja di sana. Ada perasaan senang, yaitu bisa “bekerja sambil liburan”. Karena akan terbebas dari hiruk pikuk Jakarta. Tapi ada perasaan tidak tenang lainnya juga. Karena sebelumnya, aku sudah mendengar desas desus kalau dari batch 3 akan ada yang dikirim ke Bandung dan aku langsung cerita ke orangtua, mama ku langsung bilang “Semoga kamu nggak dikirim ke Bandung.”

Can you feel that?

Hahaha.

Tapi apalah daya untuk orang yang sudah terlanjur menandatangai kontrak yang salah satu isinya adalah “…bersedia ditempatkan dimana saja….”

Ya aku harus memenuhinya. Hingga akhirnya aku ke Bandung di hari Minggu malam.


-BERSAMBUNG-

Lanjutan cerita atau Part 2 ada di sini
Enjoy it!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar