Kamis, 15 Mei 2014

Panggil Aku Sayang

[PART III]

Mulai saat itu aku selalu rajin mengirimnya pesan. Dan dia pun membalas pesanku itu dengan akrab. Dia beda sekali saat di sms. Sifat dinginnya benar-benar tidak tergambarkan dari cara dia memberikan perhatian dan cara dia menjawab semua pertanyaan yang aku lontarkan kepadanya.
Beberapa minggu ini aku selalu berbalas-balasan pesan dengannya. Setiap pagi pun aku sudah tidak jarang lagi untuk bertemunya di jalan. Bertegur sapa setiap ketemu di sekolah. Berangkat dan pulang sekolah bareng. Bahkan dia sering membantuku untuk menggeser-geser setiap motor yang menghalangi jalan untuk motorku keluar parkiran. Tak hanya dia yang sering membantuku, namun teman-temannya juga seperti itu. Tak jarang mereka mengajakku untuk bergabung dengan gerombolan mereka jika waktu istirahat tiba.
Kian hari aku dan Habibi semakin dekat. Kami sudah saling curhat satu sama lain. Bahkan aku selalu bercerita tentang kegiatan yang sedang aku lakukan. Tak jarang ia pun curhat tentang kesusahannya di dalam mata pelajaran tertentu ke aku, dan kami pun berlajar bareng untuk menyelesaikannya.
Kedekatan kami kian berjalan semakin dekat. Kami juga sering untuk jalan bareng setiap pulang sekolah. Entah itu ke mall, ke toko buku, ke rumah makan, ke studio musik tempat dia dan teman-temannya berlatih band, sampai ke lapangan futsal saat kelasan dia mengadakan latihan futsal yang rutin di laksanakan setiap akhir bulan.
Sudah banyak gosip yang menyebar kalau aku jadian dengannya. Dia memang seorang yang lumayan terkenal di skolah. Dia yang ganteng, dia yang tinggi, dia yang putih, dan dia yang banyak disukai oleh wanita-wanita lain.
Setiap malam pun tak jarang kami untuk bertelfonan. Mendengar suara satu sama lain sebelum tidur telah menjadi kebiasaan kami sekarang. Dan setiap aku mensyukuri kedekatanku dengannya –yang belum tentu semua orang bisa rasakan, aku selalu meyakini bahwa keberanianku yang telah merontokkan rasa maluku dihadapannya saat itu tidak berujung dengan sia-sia.
“Kamu jadian sama Habibi, ya?” pertanyaan itu selalu muncul di setiap hariku.
Sahabat-sahabatku pun selalu meledekku dengannya. Tapi, kenyataan belum berpihak untuk mengabulkan setiap perkataan mereka. Sampai saat ini, antara aku dan dia tidak ada yang mengungkapkan kalimat cinta apapun.
Ada rasa ingin sekali mengatakannya duluan. Tapi, aku masih setia menunggu hingga dia yang mengungkapkannya lebih dulu. Sampai kedekatan kami menemui tahun pertama. Bukan hanya sekedar dekat. Untuk berpegangan tangan ditempat umum pun bukan menjadi hal yang jarang kami lakukan. Dengan lembut ia selalu menuntunku kesetiap tempat yang kami ingin datangi.
Mungkin orang-orang yang tidak mengenal kami akan berpendapat kalau kami jadia dan memiliki sebuah hubungan khusus.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar