“Lia sayang, sampai kapan kamu mau
digantung terus hubungannya oleh Habibi itu?” tanya temanku yang mulai
merasakan gregetan dengan hubungan aku
bersama Habibi.
Aku
pun merasakan hal yang sama. Gregetan dengan kondisi ngegantung seperti ini. Lama
kelamaan aku membutuhkan sebuah kepastian yang bisa menjawab semua kondisi yang
menjadi rumit ini.
“Entahlah,
dia belum juga berbicara yang berujuk kearah sana,” jawabku pasrah.
Kepastian
dengan semua kedekatan ini. Ya! aku butuh itu! aku butuh itu dari Habibi. Aku
butuh dia bisa menjelaskan arti dari semua kedekatan kami ini.
Hingga
saat kami jalan kesebuah rumah makan. Aku memberanikan diri untuk menanyakan
hal itu.
“Habibi?”
sapaku gugup.
“Iya,
ada apa?” jawabnya yang langsung memberhentikan makannya.
“Aku
mau tanya sesuatu.”
“Tunggu!
Aku tahu apa yang akan kamu tanyakan,” ucapnya sembari tersenyum nakal ke aku.
“Benar?”
tanyaku tak percaya.
“Iya.”
Ia berhenti sejenak. Mengambil tasnya yang ia taruh disamping kanan kursinya.
Mengeluarkan sebuah kotak dari dalam tas dan meletakkannya di hadapanku.
“Apa
ini?” aku heran dengan prilakunya yang suka tiba-tiba menjadi aneh.
Tanganku
mendekati kotak biru berhiasan pita di ujung tutupnya. Jantungku semakin
berdebar ketika telapak tanganku bisa merasakan permukaan kotak itu, membukanya
perlahan.
“Jangan
dibuka dulu!” ucap Habibi tiba-tiba.
Aku
terhenti. Tanganku seketika stop untuk membuka kotak itu. Menatap heran ke
Habibi yang sedang senyum manis kepadaku.
Aku
melihat tangannya yang bergerak mendekati tanganku yang berada di atas kotak.
Menggenggam lembut tanganku hingga aku tidak lagi merasakan permukaan kotak
itu. Yang sekarang aku rasakan hanyalah lembut tangannya.
“Lia,”
bisiknya lembut.
“Iya,
Bi,” jawabku gugup.
Aku
bisa merasakan seperti ada kepakan sayap kupu-kupu berterbangan dilambungku.
Menggelitik.
“Maukah
kamu menjadi pacarku?”
Kalimat
tanya itu seperti sebuah bom waktu yang meledak tepat pada waktunya. Kalimat
itu adalah kalimat yang telah menjadi sebuah ramuan yang berhasil membuat
semakin banyak kupu-kupu berterbngan bebas di lambungku. Dan jantungku pun
berdetak lebih kencangh dari biasanya dan tidak bisa aku kendalikan.
“Kalau
kamu mau menerimaku, kembalikan kotak itu kepadaku. Namun jika kamu menolakku,
silakan buka kotak itu.” Habibi melepaskan genggamannya.
Aku
bisa merasakan angin yang langsung menyerbu permukaan tanganku.
Jantungku
semakin tidak bisa aku kendalikan. Kini sebuah kotak biru ada di genggamanku.
Aku terus mencoba meyakinkan diriku untuk mengambil keputusan yang tepat.
“Ini
aku kembalikan!” ucapku dengan mengulurkan sebuah tangan berisi sebuah kotak di
atasnya.
“Lia?
Kamu?” tanya habibi tak percaya.
“Iya,
aku mau jadi pacarmu.”
Kegembiraan
langsung menghampiri dirinya. Dia yang tiba-tiba mengeluarkan gerakan aneh yang
berhasil menyita perhatian pengunjung lainnya.
“Terimakasih!”
tangannya kembali menggenggam tanganku. Menggerakkannya ke atas dan ke bawah.
Membuat sebuah senyum bahagia tercipta di wajahku.
“Sebenarnya,
aku sudah lama menginginkan ini. Aku mau kamu panggil aku sayang. Bukan Lia
ataupun dengan panggilan ‘lo’,” ujarku berterus terang kepadanya.
Habibi
tersenyum mengerti.
“Maaf,
sebenarnya juga aku ingin mengucapkan ini sejak lama. Tapi aku menunggu kamu
untuk memulainya lebih dulu, aku suka sama kamu karena kamu cewek yang berani
mengungkapkan apa yang kamu rasakan.”
Aku
tak mengerti dengan ucapannya. Ia pun paham dengan ekspresi aku yang
menggambarkan untuk memintanya mengulang kembali perkataan-perkataannya dengan
lebih jelas.
“Saat
pertama kamu balap motor aku, aku sudah mengira kamu cewek pemberani. Sampai
kamu memnita nomor hp-ku. Aku semakin yakin kamu memang cewek yang berani. Aku
pun nggak segan-segan untuk memberikan nomorku ke kamu, karena aku yakin kita
akan bisa menjalin hubungan lebih dekat dari sekedar kenal nama,” Habibi
berhenti sejenak. Mengeluarkan kotak yang tadi sudah ia letakkan di samping
kursinya. “Hingga tadi aku melihat kamu bergelagat ingin menanyakan tentang
hubungan kita. Aku pun mulai yakin, kamulah yang bisa menemani setiap hariku. Dengan
keberanianmu, dengan sikap polosmu, dan dengan semua yang ada dirimu. Sebenarnya
kotak ini selalu aku bawa saat kita jalan kemanapun. Aku selalu menunggu kamu
untuk memberikan kode ke aku untuk menyatakan semua ini.”
“Habibi,”
ucap aku tak percaya.
Sempat
ada perasaan kagum dan kaget mendengar ceritanya barusan.
“Ini
buat kamu!” ucapnya menyodorkan kotak biru yang tadi. “Kalau yang sekarang
boleh kamu buka, kok.”
Aku
pun perlahan membuka kotak biru itu. Mengintipnya perlahan dari celah yang
semakin membesar dan membiarkan mataku leluasa melihat benda itu.
Sebuah note book bersampul coklat dengan motif
kayu yang digambar dengan detai yang luar biasa bagusnya. Aku pun mengeluarkan note book itu. Sempat melihat ke Habibi
yang langsung memberika isyaran untuk aku membukanya.
Halaman
pertama aku buka, aku melihat fotoku tertempel di sana. Dengan kata-kata indah
yang tertulis di bagian bawah foto.
Tanggal 28 Oktober
2010.
Aku yakin suatu saat
keberanianmu akan menjadi sunsetku. Menjadi pintu gerbang menuju malam indah
bertaburan bintang yang tersenyum bahagia dengan hubungan kita yang akan
menjadi semakin serius.
Perlahan
aku kembali membuka halaman-halaman berikutnya. Kembali aku menemukan fotoku
tertempel disetiap halamannya. Semua fotoku yang aku sendiri tidak tahu kapan
Habibi memotretnya. Saat kami jalan bareng. Saat kami melaksanakan ujian
kenaikan kelas walaupun dengan kelas yang berbeda. Saat aku mengikuti lomba
menulis. Saat aku menjadi panitia pensi sekolah. Saat aku kebingungan dengan
motorku yang susah untuk keluar. Saat aku upacara. Dan saat-saat lainnya. Semua
itu seperti perjalanan aku sejak aku mengenalnya setahun ini.
“Ini
bagus banget,” pujiku ketika aku selesai melihat semua foto dengan
hiasan-hiasan manis diteliap halamannya.
“Aku
sayang kamu,” ucapnya lembut.
Kebahagiaan
pasti aku rasa. Terlebih, kini setelah setahun kedekatan kami akhirnya dia
memanggil aku sayang. Sayang dan akan selalu menjadi sayang hingga waktu yang
akan memberi tahu kapan kami harus berhenti.
Singkatnya,
cinta butuh sebuah keberanian. Tetapi sesungguhnya cinta itu sendiri merupakan
keberanian, dan siapapun yang memiliki cinta itu artinya ia memiliki
keberanian. Dan untuk menyempurnakan keberanian itu, kita harus memiliki
keberanian yang lainnya; mengungkapkannya. Masalah ahsilnya bagaimana, ya itu
tergantung bagaimana kita bisa merebut perhatian dia dengan keberanian kita,
tanpa memikirkan sebuah ego semata.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar