Minggu, 18 Mei 2014

Panggil Aku Sayang

[PART IV: ENDING]

“Lia sayang, sampai kapan kamu mau digantung terus hubungannya oleh Habibi itu?” tanya temanku yang mulai merasakan gregetan dengan hubungan aku  bersama Habibi.
Aku pun merasakan hal yang sama. Gregetan dengan kondisi ngegantung seperti ini. Lama kelamaan aku membutuhkan sebuah kepastian yang bisa menjawab semua kondisi yang menjadi rumit ini.
“Entahlah, dia belum juga berbicara yang berujuk kearah sana,” jawabku pasrah.
Kepastian dengan semua kedekatan ini. Ya! aku butuh itu! aku butuh itu dari Habibi. Aku butuh dia bisa menjelaskan arti dari semua kedekatan kami ini.
Hingga saat kami jalan kesebuah rumah makan. Aku memberanikan diri untuk menanyakan hal itu.
“Habibi?” sapaku gugup.
“Iya, ada apa?” jawabnya yang langsung memberhentikan makannya.
“Aku mau tanya sesuatu.”
“Tunggu! Aku tahu apa yang akan kamu tanyakan,” ucapnya sembari tersenyum nakal ke aku.
“Benar?” tanyaku tak percaya.
“Iya.” Ia berhenti sejenak. Mengambil tasnya yang ia taruh disamping kanan kursinya. Mengeluarkan sebuah kotak dari dalam tas dan meletakkannya di hadapanku.
“Apa ini?” aku heran dengan prilakunya yang suka tiba-tiba menjadi aneh.
Tanganku mendekati kotak biru berhiasan pita di ujung tutupnya. Jantungku semakin berdebar ketika telapak tanganku bisa merasakan permukaan kotak itu, membukanya perlahan.
“Jangan dibuka dulu!” ucap Habibi tiba-tiba.
Aku terhenti. Tanganku seketika stop untuk membuka kotak itu. Menatap heran ke Habibi yang sedang senyum manis kepadaku.
Aku melihat tangannya yang bergerak mendekati tanganku yang berada di atas kotak. Menggenggam lembut tanganku hingga aku tidak lagi merasakan permukaan kotak itu. Yang sekarang aku rasakan hanyalah lembut tangannya.
“Lia,” bisiknya lembut.
“Iya, Bi,” jawabku gugup.
Aku bisa merasakan seperti ada kepakan sayap kupu-kupu berterbangan dilambungku. Menggelitik.
“Maukah kamu menjadi pacarku?”
Kalimat tanya itu seperti sebuah bom waktu yang meledak tepat pada waktunya. Kalimat itu adalah kalimat yang telah menjadi sebuah ramuan yang berhasil membuat semakin banyak kupu-kupu berterbngan bebas di lambungku. Dan jantungku pun berdetak lebih kencangh dari biasanya dan tidak bisa aku kendalikan.
“Kalau kamu mau menerimaku, kembalikan kotak itu kepadaku. Namun jika kamu menolakku, silakan buka kotak itu.” Habibi melepaskan genggamannya.
Aku bisa merasakan angin yang langsung menyerbu permukaan tanganku.
Jantungku semakin tidak bisa aku kendalikan. Kini sebuah kotak biru ada di genggamanku. Aku terus mencoba meyakinkan diriku untuk mengambil keputusan yang tepat.
“Ini aku kembalikan!” ucapku dengan mengulurkan sebuah tangan berisi sebuah kotak di atasnya.
“Lia? Kamu?” tanya habibi tak percaya.
“Iya, aku mau jadi pacarmu.”
Kegembiraan langsung menghampiri dirinya. Dia yang tiba-tiba mengeluarkan gerakan aneh yang berhasil menyita perhatian pengunjung lainnya.
“Terimakasih!” tangannya kembali menggenggam tanganku. Menggerakkannya ke atas dan ke bawah. Membuat sebuah senyum bahagia tercipta di wajahku.
“Sebenarnya, aku sudah lama menginginkan ini. Aku mau kamu panggil aku sayang. Bukan Lia ataupun dengan panggilan ‘lo’,” ujarku berterus terang kepadanya.
Habibi tersenyum mengerti.
“Maaf, sebenarnya juga aku ingin mengucapkan ini sejak lama. Tapi aku menunggu kamu untuk memulainya lebih dulu, aku suka sama kamu karena kamu cewek yang berani mengungkapkan apa yang kamu rasakan.”
Aku tak mengerti dengan ucapannya. Ia pun paham dengan ekspresi aku yang menggambarkan untuk memintanya mengulang kembali perkataan-perkataannya dengan lebih jelas.
“Saat pertama kamu balap motor aku, aku sudah mengira kamu cewek pemberani. Sampai kamu memnita nomor hp-ku. Aku semakin yakin kamu memang cewek yang berani. Aku pun nggak segan-segan untuk memberikan nomorku ke kamu, karena aku yakin kita akan bisa menjalin hubungan lebih dekat dari sekedar kenal nama,” Habibi berhenti sejenak. Mengeluarkan kotak yang tadi sudah ia letakkan di samping kursinya. “Hingga tadi aku melihat kamu bergelagat ingin menanyakan tentang hubungan kita. Aku pun mulai yakin, kamulah yang bisa menemani setiap hariku. Dengan keberanianmu, dengan sikap polosmu, dan dengan semua yang ada dirimu. Sebenarnya kotak ini selalu aku bawa saat kita jalan kemanapun. Aku selalu menunggu kamu untuk memberikan kode ke aku untuk menyatakan semua ini.”
“Habibi,” ucap aku tak percaya.
Sempat ada perasaan kagum dan kaget mendengar ceritanya barusan.
“Ini buat kamu!” ucapnya menyodorkan kotak biru yang tadi. “Kalau yang sekarang boleh kamu buka, kok.”
Aku pun perlahan membuka kotak biru itu. Mengintipnya perlahan dari celah yang semakin membesar dan membiarkan mataku leluasa melihat benda itu.
Sebuah note book bersampul coklat dengan motif kayu yang digambar dengan detai yang luar biasa bagusnya. Aku pun mengeluarkan note book itu. Sempat melihat ke Habibi yang langsung memberika isyaran untuk aku membukanya.
Halaman pertama aku buka, aku melihat fotoku tertempel di sana. Dengan kata-kata indah yang tertulis di bagian bawah foto.
Tanggal 28 Oktober 2010.
Aku yakin suatu saat keberanianmu akan menjadi sunsetku. Menjadi pintu gerbang menuju malam indah bertaburan bintang yang tersenyum bahagia dengan hubungan kita yang akan menjadi semakin serius.
Perlahan aku kembali membuka halaman-halaman berikutnya. Kembali aku menemukan fotoku tertempel disetiap halamannya. Semua fotoku yang aku sendiri tidak tahu kapan Habibi memotretnya. Saat kami jalan bareng. Saat kami melaksanakan ujian kenaikan kelas walaupun dengan kelas yang berbeda. Saat aku mengikuti lomba menulis. Saat aku menjadi panitia pensi sekolah. Saat aku kebingungan dengan motorku yang susah untuk keluar. Saat aku upacara. Dan saat-saat lainnya. Semua itu seperti perjalanan aku sejak aku mengenalnya setahun ini.
“Ini bagus banget,” pujiku ketika aku selesai melihat semua foto dengan hiasan-hiasan manis diteliap halamannya.
“Aku sayang kamu,” ucapnya lembut.
Kebahagiaan pasti aku rasa. Terlebih, kini setelah setahun kedekatan kami akhirnya dia memanggil aku sayang. Sayang dan akan selalu menjadi sayang hingga waktu yang akan memberi tahu kapan kami harus berhenti.
Singkatnya, cinta butuh sebuah keberanian. Tetapi sesungguhnya cinta itu sendiri merupakan keberanian, dan siapapun yang memiliki cinta itu artinya ia memiliki keberanian. Dan untuk menyempurnakan keberanian itu, kita harus memiliki keberanian yang lainnya; mengungkapkannya. Masalah ahsilnya bagaimana, ya itu tergantung bagaimana kita bisa merebut perhatian dia dengan keberanian kita, tanpa memikirkan sebuah ego semata.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar