[PART II]
Hari ini aku mencoba berangkat lebih siang dari kemarin. Aku tidak mau lagi motorku sampai susah keluar akibat berangkat terlalu pagi. Karena aku ingin pulang bersamanya, ya setidaknya bisa mengikutinya dari belakang. Motor metik yang aku gunakan, aku bawa dengan kecepatan normal. Tidak terlalu berharap untuk bertemu denganya di jalan pagi ini. Merasakan udara pagi yang sejuk, yang masih belum banyak terjamahi oleh polusi-polusi yang diakibatkan dari kendaraan bermotor. Jalanan begitu lenggang. Hanya sedikit truk-truk, kontener, sedan, dan sepeda motor yang ikut jalan bersamaku.
Namun
yang tak diduga terjadi. Aku bertemu dengannya di jalan. Dia masih menggunakan
jaket biru dan helm merahnya. Aku yakin itu dia. Tas hitam dengan corak yang
sama dengan yang lelaki itu biasa kenakan dan juga nomor polisi motor itu. Ya!
itu dia! Aku
ingin mengulang kejadia seperti beberapa waktu lalu. Akhirnya aku menambah
kecepatan motorku hingga mendahului motornya. Tak lama ia membalasnya. Kini ia
berada di depanku. Bersama motor supranya, ia berjalan lebih cepat. Sampai di
sekolah, kondisi seperti itu tetap terjadi. Ia sampai di sekolah lebih dulu. Saat
berbelok ke parkiran, jantungku berdegup
lebih kencang
dari sebelumnya. Aku parkir
tepat di samping motornya. Melihat dia melepaskan helmnya. Aku bisa melihat
wajah putihnya dengan jelas. Namun aku tidak mau terlalu terlihat seperti
memerhatikannya. Takut ia merasa tak nyaman jika ia tahu aku memerhatikannya
sejak tadi.
Hari ini aku mencoba berangkat lebih siang dari kemarin. Aku tidak mau lagi motorku sampai susah keluar akibat berangkat terlalu pagi. Karena aku ingin pulang bersamanya, ya setidaknya bisa mengikutinya dari belakang. Motor metik yang aku gunakan, aku bawa dengan kecepatan normal. Tidak terlalu berharap untuk bertemu denganya di jalan pagi ini. Merasakan udara pagi yang sejuk, yang masih belum banyak terjamahi oleh polusi-polusi yang diakibatkan dari kendaraan bermotor. Jalanan begitu lenggang. Hanya sedikit truk-truk, kontener, sedan, dan sepeda motor yang ikut jalan bersamaku.
Dia
pun mulai berjalan keluar parkiran. Masih dengan mengenakan jaket birunya.
Melewatiku yang masih berpura-pura membereskan segala atribut seragamku. Setelah melihatnya melewatiku begitu saja ada rasa ingin mengejarnya
dan menyapanya. Dan akhirnya aku pun berlari menghampirinya. Mempersiapkan diri
untuk mencoba berkomunikasi dengannya.“Kamu suka
kebut-kebutan, ya?” tanyaku kepadanya tiba-tiba.Dia tidak terlalu
memerhatikan aku yang sudah berjalan di sampingnya.“Hey, ditanya malah
nggak jawab!”Langkahnya terhenti. Ia
membalikkan badannya. Hingga menghadap ke arahku. Wajahnya seperti penuh dengan
tanda tanya. Melihat aku yang mungkin asing di matanya yang tiba-tiba saja
bertanya sok akrab.“Nggak juga,” jawabnya
singkat dan langsung kembali berjalan menuju kelasnya.Aku pun kembali
mengejarnya. Sampai aku berhasil jalan di depannya. Aku sengajakan langkahku
berhenti di hadapannya. Menjulurkan tanganku dan berharap dia akan membalasnya
dengan hal yang sama.“Kenalkan aku Lia,”
ucapku memperkenalkan diri. “Nama kamu, siapa?”Wajah dinginnya masih
saja dipasang. Matanya menjulur melihat aku dari bawah hingga atas. Ada rasa
risih saat dia memandangi aku seperti itu. Takut dia berfikir yang macam-macam
tentangku.“Gue Habibi,” ucapnya
singkat tanpa membalas uluran tanganku. Ia pun langsung berjalan melewatiku
yang masih mematung di titik yang sama.Padahal aku sudah tahu
namanya siapa. Sebenarnya yang jadi tujuan aku itu bisa mengobrol dengannya.
Tanpa dia memasang muka dingin dan angkuhnya itu.“Habibi tunggu!” ucapku
berteriak dan langsung menghampirinya.Habibi menuruti
kata-kataku. Ia berhenti dan berbalik badan. Melihat aku yang tergopoh-gopoh berlari
sembari bawa tas gemblok yang gendut berisi banyak barang-barang. Yang kalau
orang hanya lihat saja, mereka tahu kalau tas yang aku bawa itu pasti berat.“Apa?” tanyanya saat
aku sudah berada di hadapannya.“Nih!” ucapku sambil
menjulurkan sebuah pulpen kepadanya. “Aku minta nomor kamu, dong!”Tak ada penolakan
memang dari dia, namun muka dinginnya masih saja tidak lepas. Dia mengambil
pulpenku. Menuliskan beberapa angka di telapak tanganku. Dan mengembalikan
pulpen itu kembali kepadaku. Tanpa berkata apa-apa, dia langsung berbalik badan
dan kembali berjalan menjauhiku.“Terimakasih!” teriakku
kepadanya.Sebuah uluran
jempol keluar dari tangannya. Yang
langsung disusul oleh kepalanya yang menengok ke arahku dan mengeluarkan sebuah
senyuman. Senyumnya masih banget! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar