Surat untuk Mantan
Dear senjaku yang memang benar-benar sudah berlalu.
Hai, apa kabar? Gimana suasana Jogja saat ini? Apakah sama
dengan suasana Jakarta saat dulu? Atau, sudah berubah seperti suasana hati kamu
ke aku? Ah, kamu memang selalu berhasil membuat aku kembali ke masa-masa tiga
tahun lalu, bersama kita yang masih dalam satu ikatan.
Tak terasa, ya, tanggal manis kita kini terulang kembali.
Namun, berbeda tahun. Tiga Juni 2009. Tahu tidak? Aku masih merindukan tanggal
manis itu menjadi simbol cinta kita. Apakah ini yang disebut ‘terjebak
nostalgia’ seperti kata Raisa? Hahha. Aku harap tidak hanya aku yang kini
terjebak oleh masa-masa manis itu.
Mengirim surat untukmu bukan lagi merupakan kebiasaanku saat
ini. Namun, rasa rindu tiga tahun lalu menuntutku untuk merangkai kata manis
seperti ini lagi. Ya, l a g i. Seperti kebiasaan kita dulu, saling berkirim
pesan melalui teman, padahal kita sama-sama satu ruangan kelas. Menerka-nerka
balasan apa yang akan kita terima selanjutnya. Ah, itu serlalu manis, sayang!
Namun pahit untuk dikenang.
Kita berbincang dalam
diam, bercinta dalam sepi, dan berbalas dalam suka cita. Keluguan masa SMP yang
tak lepas dari kita membuat semua cinta yang ingin diungkapkan seakan memiliki
batas untuk dikeluarkan. Dan, mereka masih pada tempat yang sama. Disini, di
hatiku. Sama seperti saat kamu menyatakan cintamu dulu, di bawah senja kota
Metropolitan.
Sejak saat itu, aku meyakinkan diri bahwa cinta monyetku ini
akan menjadi pelabuhan hatiku yang terakhir. Dan sejak saat itu juga, aku yakin
kamulah senjaku. Senja yang menutup hari-hariku yang panjang nan lelah ini.
Namun, kini aku sadar. Aku salah menobatkan kamu menjad
senjaku. Karena dasarnya aku takut pada kegelapan. Dan senja adalah gerbang
pembuka menuju kegelapan, bukan?.
Tapi, disisi lain. Aku mengakui kamu adalah sebuah senja.
Senja yang meninggalkan hari cerah demi menyinari daerah lain. Kamu
meninggalkan aku yang masih haus akan cahaya darimu. Kamu, senja yang masih
terus terngiang di setiap hari-hariku. Dan entah sampai kapan itu akan terus
berlangsung.
Terakhir, ada satu pertanyaan yang terus menggelitiki
perasaanku sejak kita berpisah dulu. Apakah dulu kamu mengganggap aku sebagai sunset mu? Kalau iya, kenapa kita
diciptakan untuk saling berpisah, padahal kita diciptakan dalam waktu yang
bersamaan?
Kini, yang aku tahu pasti. Aku adalah sunrise bagimu. Diciptakan untuk saling melengkapi namun tak pernah
bertemu dalam satu waktupun. Dan aku yakin, mantan sepertimu adalah penutup
hari yang paling indah sampai saat ini yang aku miliki, walaupun jarak
Jakarta-jogja memisahkan kita.
Salam hangat.
Sunrise yang selalu
menunggu senja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar