Senin, 31 Maret 2014

#suratuntukruth #suratuntukmantan

Surat untuk Mantan

Dear senjaku yang memang benar-benar sudah berlalu.

Hai, apa kabar? Gimana suasana Jogja saat ini? Apakah sama dengan suasana Jakarta saat dulu? Atau, sudah berubah seperti suasana hati kamu ke aku? Ah, kamu memang selalu berhasil membuat aku kembali ke masa-masa tiga tahun lalu, bersama kita yang masih dalam satu ikatan.

Tak terasa, ya, tanggal manis kita kini terulang kembali. Namun, berbeda tahun. Tiga Juni 2009. Tahu tidak? Aku masih merindukan tanggal manis itu menjadi simbol cinta kita. Apakah ini yang disebut ‘terjebak nostalgia’ seperti kata Raisa? Hahha. Aku harap tidak hanya aku yang kini terjebak oleh masa-masa manis itu.

Mengirim surat untukmu bukan lagi merupakan kebiasaanku saat ini. Namun, rasa rindu tiga tahun lalu menuntutku untuk merangkai kata manis seperti ini lagi. Ya, l a g i. Seperti kebiasaan kita dulu, saling berkirim pesan melalui teman, padahal kita sama-sama satu ruangan kelas. Menerka-nerka balasan apa yang akan kita terima selanjutnya. Ah, itu serlalu manis, sayang! Namun pahit untuk dikenang.

 Kita berbincang dalam diam, bercinta dalam sepi, dan berbalas dalam suka cita. Keluguan masa SMP yang tak lepas dari kita membuat semua cinta yang ingin diungkapkan seakan memiliki batas untuk dikeluarkan. Dan, mereka masih pada tempat yang sama. Disini, di hatiku. Sama seperti saat kamu menyatakan cintamu dulu, di bawah senja kota Metropolitan.

Sejak saat itu, aku meyakinkan diri bahwa cinta monyetku ini akan menjadi pelabuhan hatiku yang terakhir. Dan sejak saat itu juga, aku yakin kamulah senjaku. Senja yang menutup hari-hariku yang panjang nan lelah ini.

Namun, kini aku sadar. Aku salah menobatkan kamu menjad senjaku. Karena dasarnya aku takut pada kegelapan. Dan senja adalah gerbang pembuka menuju kegelapan, bukan?.

Tapi, disisi lain. Aku mengakui kamu adalah sebuah senja. Senja yang meninggalkan hari cerah demi menyinari daerah lain. Kamu meninggalkan aku yang masih haus akan cahaya darimu. Kamu, senja yang masih terus terngiang di setiap hari-hariku. Dan entah sampai kapan itu akan terus berlangsung.

Terakhir, ada satu pertanyaan yang terus menggelitiki perasaanku sejak kita berpisah dulu. Apakah dulu kamu mengganggap aku sebagai sunset mu? Kalau iya, kenapa kita diciptakan untuk saling berpisah, padahal kita diciptakan dalam waktu yang bersamaan?

Kini, yang aku tahu pasti. Aku adalah sunrise bagimu. Diciptakan untuk saling melengkapi namun tak pernah bertemu dalam satu waktupun. Dan aku yakin, mantan sepertimu adalah penutup hari yang paling indah sampai saat ini yang aku miliki, walaupun jarak Jakarta-jogja memisahkan kita.


Salam hangat.


Sunrise yang selalu menunggu senja.



Tulisan ini diikutsertakan untuk lomba #suratuntukruth novel Bernard Batubara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar