
Lelaki yang dapat
membalas genggaman tangan wanita mengapa tak bisa membalas perasaan sayang dari
wanita yang sama?
~
Aku yakin ia dapat merasakan
sentuhan tanganku di permukaan tangannya yang mulai mendingin malam ini. Hujan
yang beberapa waktu lalu baru saja reda sehabis mengguyuri Jakarta selama
kurang lebih setengah jam, mampu membuat jalanan Ibu Kota di kawasan Pluit
tergenang air. Tak jauh berbeda seperti tangannya, tangannya basah dan lembab.
Dingin dan mungkin hampir membeku.
Aku memang sengaja melingkarkan
tanganku di tangannya, berusaha mendekatkan diri dengannya dan merasakan hangat
yang –mungkin akan mengalir melalui sentuhan tangan kami berdua. Tapi dia
terlalu dingin untuk memberikan kehangatan yang aku harapkan.
Tak berapa lama, tangan kami saling
bersentuhan. Saling menyapa ditengah malam yang masih meneteskan bulir-bulir
hujannya. Jari-jariku dengan lincah menggapai sela-sela jarinya yang masih kaku
tak berubah bentuk. Dan tanganku pun berpaut di tangannya walau tanpa balasan.
Kami terus berjalan menyusuri
trotoar jalan yang dipenuhi hiruk pikuk penjual yang mulai menutup lapak
jualannya. Langkah kaki kami saling beriringan satu sama lain. Menutupi kekosongan
yang terjadi diantara kami. Decapan kaki di tengah genangan air mampu membuat
sebuah suara yang mempu mengisi kesunyian ini. Kami terus berjalan untuk
mengisi waktu menunggu taksi yang mungkin akan melewati kami beberapa waktu
lagi.
“Bagaimana filmnya tadi, seru?”
tanyaku berharap suasana kami akan menghangat dan tidak sedingin tangannya
sekarang ini.
“Seru, tapi ending-nya nggak bagus,” tanggapnya lekas.
“Nggak bagus dimananya, sih? Ending-nya tadi itu romantis banget,
tahu!”
“Mana ada film yang ending-nya sedih-sedihan bisa dibilang
bagus? Apalagi romantis!”
Aku mengenalnya sudah hampir tiga
tahun, dan sikapnya dari dulu memang tidak berubah. Dingin dan mungkin lebih ke
“sok cool”.
Tanganku masih terpaut di
tangannya. Berdiam diri dan mencoba mencari posisi nyamannya. Tapi yang aku
harapkan tak kunjung datang. Tangannya masih saja berdiam diri tanpa membalas
menggenggam tangaku. Tatapannyapun juga masih terpaku pada jalan di depannya.
Tanpa menoleh sedikitpun ke arahku.
Jangan bicara pertemanan aku dan
dia hanya sekedar teman menonton atau teman bercengkrama. Aku tahu dia, dan dia
pun tahu siapa aku. Aku mengenal dia jauh dari teman-temannya yang lain. Bahkan
aku mengenalnya jauh dari yang ia tahu.
Bibir kami saling bercakap membahas
film yang baru saja kami tonton. Saling bersahutan mengeluarkan pendapat yang
menurut kami paling benar satu sama lain. Berharap menjadi pemenang di
perdebatan yang sesungguhnya konyol ini. Tetapi mengapa dekapan tangaku tak
mendapatkan balasan seperti ucapan yang keluar dari bibir ku?
Aku tak pernah seberani ini untuk
memulai lebih lanjut, terlebih menggenggam tangan seperti ini. Hanya satu
alasanku bisa melakukan hal seperi ini. Ialah dirinya yang menjadi satu-satunya
alasanku. Alasan perbuatan ku yang melenceng ini, perbuatan yang sesungguhnya
tak pantas untuk wanita melakukannya lebih dulu. Namun ini lebih mendingan
disbanding kejadian itu.
Sekitar satu bulan lalu. Susana
sama seperti malam ini. Lembab karena habis terguyur hujan. Dingin dengan
selimut gerimis yang mendukung untuk terasa semakin dingin. Mampu membuat tubuh
semakin menggigil dan bergoyang tak disengaja.
“Kamu kedinginan?” tanyanya seperti
orang yang tak peka melihat aku yang sudah mengusap-usap kedua tanganku sejak
tadi. Dan aku hanya membalasnya dengan sebuah anggukan kepala.
“Aku kan tadi sudah bilang.
Jaketnya jangan ditinggalin di kantor, di luar itu habis hujan, dan pasti akan
dingin sekali. Ngeyel sih kalau dibilangin!”
Aku selalu malas untuk
menanggapinya kalau sedang marah atau mendumel. Yang ada kami akan berantem,
dan aku tidak mau hal itu terjadi.
Sesaat kemudian aku bisa merasakan
kecepatan tangan itu menyabet tanganku. Hangat seketika mengalir tidak hanya
ditangan, namun keseluruh tubuhku. Genggaman tangan itu semakin erat melingkar
ditanganku. Mentransfer rasa hangat yang hebat. Tanpa ragu ia tetap menggenggam
tangan kananku. Mendekap dengan kedua tangannya. Menuntunku untuk terus
berjalan menyelusuri trotoar dan menunggu taksi lewat.
Tanpa ada sepatah katapun yang
keluar. Namun tangan kami saling terpaut dalam waktu yang tak sebentar. Terus
tehubung hingga aku keluar dari taksi lebih dulu karena sudah sampai di depan
rumah.
Dan dekapan tangan itu, yang hanya
sebatas sampai pergelangan tanganku, aku masih bisa merasakan hangat dan
eratnya hingga saat ini. Walaupun katika aku yang memancingnya untuk melakukan
hal itu kembali, namun tak kunjung ia beri.
Terlebih ketika kata-kata cinta itu
terlontar dari bibirku malam itu. Dia berubah semakin dingin. Dan juga
tangannya yang semakin kaku untuk membalas dekapan tanganku.
Mengapa semua ini terjadi?
Mengapa kumbang tak selalu
menghampiri bunga yang sedang mekar? Malah ia menjauhinya seperti, mungkin
menganggapnya seperti bungan di musim dingin. Walaupun dulu, ia sempat hinggap
sementara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar