Senin, 07 Juli 2014

Please, take my hand.


Lelaki yang dapat membalas genggaman tangan wanita mengapa tak bisa membalas perasaan sayang dari wanita yang sama?
~
Aku yakin ia dapat merasakan sentuhan tanganku di permukaan tangannya yang mulai mendingin malam ini. Hujan yang beberapa waktu lalu baru saja reda sehabis mengguyuri Jakarta selama kurang lebih setengah jam, mampu membuat jalanan Ibu Kota di kawasan Pluit tergenang air. Tak jauh berbeda seperti tangannya, tangannya basah dan lembab. Dingin dan mungkin hampir membeku.
Aku memang sengaja melingkarkan tanganku di tangannya, berusaha mendekatkan diri dengannya dan merasakan hangat yang –mungkin akan mengalir melalui sentuhan tangan kami berdua. Tapi dia terlalu dingin untuk memberikan kehangatan yang aku harapkan.
Tak berapa lama, tangan kami saling bersentuhan. Saling menyapa ditengah malam yang masih meneteskan bulir-bulir hujannya. Jari-jariku dengan lincah menggapai sela-sela jarinya yang masih kaku tak berubah bentuk. Dan tanganku pun berpaut di tangannya walau tanpa balasan.
Kami terus berjalan menyusuri trotoar jalan yang dipenuhi hiruk pikuk penjual yang mulai menutup lapak jualannya. Langkah kaki kami saling beriringan satu sama lain. Menutupi kekosongan yang terjadi diantara kami. Decapan kaki di tengah genangan air mampu membuat sebuah suara yang mempu mengisi kesunyian ini. Kami terus berjalan untuk mengisi waktu menunggu taksi yang mungkin akan melewati kami beberapa waktu lagi.
“Bagaimana filmnya tadi, seru?” tanyaku berharap suasana kami akan menghangat dan tidak sedingin tangannya sekarang ini.
“Seru, tapi ending-nya nggak bagus,” tanggapnya lekas.
“Nggak bagus dimananya, sih? Ending-nya tadi itu romantis banget, tahu!”
“Mana ada film yang ending-nya sedih-sedihan bisa dibilang bagus? Apalagi romantis!”
Aku mengenalnya sudah hampir tiga tahun, dan sikapnya dari dulu memang tidak berubah. Dingin dan mungkin lebih ke “sok cool”.
Tanganku masih terpaut di tangannya. Berdiam diri dan mencoba mencari posisi nyamannya. Tapi yang aku harapkan tak kunjung datang. Tangannya masih saja berdiam diri tanpa membalas menggenggam tangaku. Tatapannyapun juga masih terpaku pada jalan di depannya. Tanpa menoleh sedikitpun ke arahku.
Jangan bicara pertemanan aku dan dia hanya sekedar teman menonton atau teman bercengkrama. Aku tahu dia, dan dia pun tahu siapa aku. Aku mengenal dia jauh dari teman-temannya yang lain. Bahkan aku mengenalnya jauh dari yang ia tahu.
Bibir kami saling bercakap membahas film yang baru saja kami tonton. Saling bersahutan mengeluarkan pendapat yang menurut kami paling benar satu sama lain. Berharap menjadi pemenang di perdebatan yang sesungguhnya konyol ini. Tetapi mengapa dekapan tangaku tak mendapatkan balasan seperti ucapan yang keluar dari bibir ku?
Aku tak pernah seberani ini untuk memulai lebih lanjut, terlebih menggenggam tangan seperti ini. Hanya satu alasanku bisa melakukan hal seperi ini. Ialah dirinya yang menjadi satu-satunya alasanku. Alasan perbuatan ku yang melenceng ini, perbuatan yang sesungguhnya tak pantas untuk wanita melakukannya lebih dulu. Namun ini lebih mendingan disbanding kejadian itu.
Sekitar satu bulan lalu. Susana sama seperti malam ini. Lembab karena habis terguyur hujan. Dingin dengan selimut gerimis yang mendukung untuk terasa semakin dingin. Mampu membuat tubuh semakin menggigil dan bergoyang tak disengaja.
“Kamu kedinginan?” tanyanya seperti orang yang tak peka melihat aku yang sudah mengusap-usap kedua tanganku sejak tadi. Dan aku hanya membalasnya dengan sebuah anggukan kepala.
“Aku kan tadi sudah bilang. Jaketnya jangan ditinggalin di kantor, di luar itu habis hujan, dan pasti akan dingin sekali. Ngeyel sih kalau dibilangin!”
Aku selalu malas untuk menanggapinya kalau sedang marah atau mendumel. Yang ada kami akan berantem, dan aku tidak mau hal itu terjadi.
Sesaat kemudian aku bisa merasakan kecepatan tangan itu menyabet tanganku. Hangat seketika mengalir tidak hanya ditangan, namun keseluruh tubuhku. Genggaman tangan itu semakin erat melingkar ditanganku. Mentransfer rasa hangat yang hebat. Tanpa ragu ia tetap menggenggam tangan kananku. Mendekap dengan kedua tangannya. Menuntunku untuk terus berjalan menyelusuri trotoar dan menunggu taksi lewat.
Tanpa ada sepatah katapun yang keluar. Namun tangan kami saling terpaut dalam waktu yang tak sebentar. Terus tehubung hingga aku keluar dari taksi lebih dulu karena sudah sampai di depan rumah.
Dan dekapan tangan itu, yang hanya sebatas sampai pergelangan tanganku, aku masih bisa merasakan hangat dan eratnya hingga saat ini. Walaupun katika aku yang memancingnya untuk melakukan hal itu kembali, namun tak kunjung ia beri.
Terlebih ketika kata-kata cinta itu terlontar dari bibirku malam itu. Dia berubah semakin dingin. Dan juga tangannya yang semakin kaku untuk membalas dekapan tanganku.
Mengapa semua ini terjadi?
Mengapa kumbang tak selalu menghampiri bunga yang sedang mekar? Malah ia menjauhinya seperti, mungkin menganggapnya seperti bungan di musim dingin. Walaupun dulu, ia sempat hinggap sementara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar