Sabtu, 15 Maret 2014

Yang Tak Pernah Terlihat

Pada awalnya aku tidak mengenal kamu. “Kamu siapa?”, “Dari mana kamu hadir?”. Semua pertanyaan itu begitu pantas untuk aku ajukan ke kamu.

Tapi mata itu, mata yang indah yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Membuat aku merasakan, aku lah yang harus cari tahu siapa kamu dan kamu berasal dari mana.

***

Cahaya matahari di siangnya hari Minggu ini begitu bersahabat. Air yang menggenang di pinggir trotoar akibat hujan sejak malam tadi juga tak kalah bersinar dengan matanya saat diterpa cahaya. Mata itu menyapaku dengan bulir-bulir cahaya yang memancar cantik padanya. Ia indah dengan balutan fanel biru di tubuhnya, celana jeans kumuh namun tetap keren ketika dipakainya, dan topi yang sudah tidak jelas bentuk bulatnya. Ia indah, menunggu tenang di bawah pohon rindang, di bangku kota yang baru di pasang oleh dinas DKI.

Dari jauh, aku begitu bisa leluasa memandanginya. Melihatnya yang terlihat gugup dengan genggaman handphone yang selalu di putar-putar dengan sebelah tangannya, duduknya pun tidak tenang, grasak grusuk. Wajahnya gugup, keringat bisa aku lihat mengalir tenang di kening dan pelipisnya.

Terlalu asik memandangnya, hingga aku lupa tujuannya menghubungiku tadi pagi. Suaranya yang kala itu tergesah-gesah. Di pagi hari yang belum terlalu terang, ia berhasil membuat aku khawatir dengan suaranya yang tak mengenakan itu.

“Lo dimana?”

“Aku di rumah lah! Ada apa?”

“Gue butuh bantuan lo! Siang ini kita ketemu di taman biasa. Oke!”

Tanpa ia tahu aku setuju atau tidak, ia langsung memutuskan hubungan telefon itu. Banyak pertanyaan yang menggantung di kepalaku. Semuanya berseliweran tak menentu, bersamaan namanya yang memang selalu ada di fikiranku sejak dulu.

Aku mengenalnya dengan baik. Bahkan sangat baik. Kami berteman sejak kami masuk SMA yang sama. Dia yang terlihat brandal tak kejap membuatku menjauhinya. Malahan, itulah hal yang menarik darinya. Hal yang membuat dia selalu ada di mataku dan fikiranku.

Mata bandel dan nakalnya memang sudah tergambar sejak dulu. Tapi mata itulah yang memberikan kesejukan dihatiku setiap kami bersama dalam satu kisah.

“Ya!” teriak lelaki itu mulai menjauhi bangku yang didudukinya tadi, dan mulai mendekatiku yang masih terpatung menatapnya sejak tadi. “Aya! Ngapain bengong doang disini? Bukannya langsung nyemperin gue!”
Aku sudah terbiasa mendengarnya berbicara keras di depan mukaku. Karena itulah wataknya, keras.
“Aku juga baru datang, kok. Kamu dari tadi?”

“Nggak juga.” Terjadi keheningan diantara kami. “Duduk disitu saja, yuk!” ucapnya menunjuk kearah bangku yang tadi didudukinya.

Tak lama, aku bisa merasakan pergelangan tangannya melingkar erat di tanganku. Merasakan permukaan tangannya yang mulai terasa kasar. Rekatan tangannya selalu saja berhasil membuat aku tak bias mengungkapkan kata-kata bahwa aku ingin menolak semua ini. Aku tidak ingin ada suah ikatan apapu yang terjalin antara aku degan dia.

Ia menarikku paksa, menuju bangku di bawah pohon yang cukup rindang itu. Menatapku serius seperti biasanya ketika ia sedang membuatuhkan aku. Seperti beberapa waktu lalu.

“Lo tahu kan gue butuh apa dari lo?” tanyanya memulai percakapan antara kami.

“Iya, aku tahu.” Aku langsung merogoh isi tasku. Mengeluarkan sebuah amplop coklat kecil, tak tipis memang, namun itulah yang memang ia butuhkan dariku.

“Makasih banyak, Ya! Kalau nggak ada lo, gue nggak tahu deh gimana nasib anak gue nantinya.”

Sekejap kedua tangannya mendekapku keras, namun tak menyakitkan. Dekapan hangat namun, mampu membakar hingga hati yang paling dalam. Dekapan…yang tak bias aku balas dengan dekapan juga.

“Gimana skripsi lo? Lancar?” tanyanya ketika pelukan singkat itu terlepas dari tubuhku.

“Tinggal nunggu ditandatanganin sama dekan doang.”

“Selamat, ya! Gue bangga punya sahabat kaya lo!”

Senyum getir tercipta dibibir kami masing-masing. Aku dengan fikiranku yang menatapnya canggung, dan ia juga dengan fikirannya yang kini sedang menatap kearah bawah, murung.

Setiap kali melihatnya seperti itu, selalu ada rasa di hatiku untuk menyentuh punggungnya dan memberikannya sebuah belaian hangat. Tapi itu menjadi sebuah hal yang tidak boleh aku lakukan. Terlebih, saat ini ia sudah berkeluarga. Bersama wanita yang ia cintai hingga ia berlaku bodoh sebelum acara pernikahan mereka terlaksana. Dan aku selalu benci dengan hal itu.


Namun aku selalu tak tega ketika ia membutuhkan aku untuk meminjamkan uang untuk rumah tangganya. Dan akupun selalu luluh dengan sikap kerasnya yang tak pernah berubah. Itu semua karena aku cinta kepadanya. Dan kini, cintaku, biarkan saja ia terus tependam dalam matanya yang indah namun tak pernah terlihat oleh pemiliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar