Pada awalnya aku tidak mengenal kamu. “Kamu siapa?”, “Dari
mana kamu hadir?”. Semua pertanyaan itu begitu pantas untuk aku ajukan ke kamu.
Tapi mata itu, mata yang indah yang belum pernah aku lihat
sebelumnya. Membuat aku merasakan, aku lah yang harus cari tahu siapa kamu dan
kamu berasal dari mana.
***
Cahaya matahari di siangnya hari Minggu ini begitu
bersahabat. Air yang menggenang di pinggir trotoar akibat hujan sejak malam
tadi juga tak kalah bersinar dengan matanya saat diterpa cahaya. Mata itu menyapaku
dengan bulir-bulir cahaya yang memancar cantik padanya. Ia indah dengan balutan
fanel biru di tubuhnya, celana jeans kumuh namun tetap keren ketika dipakainya,
dan topi yang sudah tidak jelas bentuk bulatnya. Ia indah, menunggu tenang di
bawah pohon rindang, di bangku kota yang baru di pasang oleh dinas DKI.
Dari jauh, aku begitu bisa leluasa memandanginya. Melihatnya
yang terlihat gugup dengan genggaman handphone yang selalu di putar-putar
dengan sebelah tangannya, duduknya pun tidak tenang, grasak grusuk. Wajahnya
gugup, keringat bisa aku lihat mengalir tenang di kening dan pelipisnya.
Terlalu asik memandangnya, hingga aku lupa tujuannya
menghubungiku tadi pagi. Suaranya yang kala itu tergesah-gesah. Di pagi hari yang
belum terlalu terang, ia berhasil membuat aku khawatir dengan suaranya yang tak
mengenakan itu.
“Lo dimana?”
“Aku di rumah lah! Ada apa?”
“Gue butuh bantuan lo! Siang ini kita ketemu di taman biasa.
Oke!”
Tanpa ia tahu aku setuju atau tidak, ia langsung memutuskan
hubungan telefon itu. Banyak pertanyaan yang menggantung di kepalaku. Semuanya
berseliweran tak menentu, bersamaan namanya yang memang selalu ada di fikiranku
sejak dulu.
Aku mengenalnya dengan baik. Bahkan sangat baik. Kami
berteman sejak kami masuk SMA yang sama. Dia yang terlihat brandal tak kejap
membuatku menjauhinya. Malahan, itulah hal yang menarik darinya. Hal yang
membuat dia selalu ada di mataku dan fikiranku.
Mata bandel dan nakalnya memang sudah tergambar sejak dulu.
Tapi mata itulah yang memberikan kesejukan dihatiku setiap kami bersama dalam
satu kisah.
“Ya!” teriak lelaki itu mulai menjauhi bangku yang didudukinya
tadi, dan mulai mendekatiku yang masih terpatung menatapnya sejak tadi. “Aya!
Ngapain bengong doang disini? Bukannya langsung nyemperin gue!”
Aku sudah terbiasa mendengarnya berbicara keras di depan
mukaku. Karena itulah wataknya, keras.
“Aku juga baru datang, kok. Kamu dari tadi?”
“Nggak juga.” Terjadi keheningan diantara kami. “Duduk
disitu saja, yuk!” ucapnya menunjuk kearah bangku yang tadi didudukinya.
Tak lama, aku bisa merasakan pergelangan tangannya melingkar
erat di tanganku. Merasakan permukaan tangannya yang mulai terasa kasar. Rekatan
tangannya selalu saja berhasil membuat aku tak bias mengungkapkan kata-kata
bahwa aku ingin menolak semua ini. Aku tidak ingin ada suah ikatan apapu yang
terjalin antara aku degan dia.
Ia menarikku paksa, menuju bangku di bawah pohon yang cukup
rindang itu. Menatapku serius seperti biasanya ketika ia sedang membuatuhkan
aku. Seperti beberapa waktu lalu.
“Lo tahu kan gue butuh apa dari lo?” tanyanya memulai
percakapan antara kami.
“Iya, aku tahu.” Aku langsung merogoh isi tasku.
Mengeluarkan sebuah amplop coklat kecil, tak tipis memang, namun itulah yang
memang ia butuhkan dariku.
“Makasih banyak, Ya! Kalau nggak ada lo, gue nggak tahu deh
gimana nasib anak gue nantinya.”
Sekejap kedua tangannya mendekapku keras, namun tak
menyakitkan. Dekapan hangat namun, mampu membakar hingga hati yang paling
dalam. Dekapan…yang tak bias aku balas dengan dekapan juga.
“Gimana skripsi lo? Lancar?” tanyanya ketika pelukan singkat
itu terlepas dari tubuhku.
“Tinggal nunggu ditandatanganin sama dekan doang.”
“Selamat, ya! Gue bangga punya sahabat kaya lo!”
Senyum getir tercipta dibibir kami masing-masing. Aku dengan
fikiranku yang menatapnya canggung, dan ia juga dengan fikirannya yang kini
sedang menatap kearah bawah, murung.
Setiap kali melihatnya seperti itu, selalu ada rasa di hatiku
untuk menyentuh punggungnya dan memberikannya sebuah belaian hangat. Tapi itu
menjadi sebuah hal yang tidak boleh aku lakukan. Terlebih, saat ini ia sudah
berkeluarga. Bersama wanita yang ia cintai hingga ia berlaku bodoh sebelum
acara pernikahan mereka terlaksana. Dan aku selalu benci dengan hal itu.
Namun aku selalu tak tega ketika ia membutuhkan aku untuk
meminjamkan uang untuk rumah tangganya. Dan akupun selalu luluh dengan sikap
kerasnya yang tak pernah berubah. Itu semua karena aku cinta kepadanya. Dan
kini, cintaku, biarkan saja ia terus tependam dalam matanya yang indah namun
tak pernah terlihat oleh pemiliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar